Heboh, Misteri Perang Sampit, Dayak Madura Vs Dayak Klimantan, Inilah Alasan Terjadi Peperangan
![]() |
Heboh, Misteri Perang Sampit, Dayak Madura Vs Dayak Klimantan, Inilah Alasan Terjadi Peperangan |
PORTAL ISLAMI:
Peristiwa Sampit ini menjadi sebuah kota yang digambarkan begitu
menakutkan karena pertikaian etnis. Masyarakat Dayak adalah masyarakat
tradisional yang memegang teguh harkat dan harga diri.Sejak “peradaban”
masuk ke dalam kehidupan mereka, budaya “kekerasan”yang dahulu secara
turun-temurun mulai ditinggalkan.
Gambaran kasar tentang orang dayak secara umum, Orang Dayak adalah
masyarakat tradisional dan mempunyai sifat pemalu terhadap
pendatang.Namun, masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan
persatuan yang kuat antar masyarakat Dayak di seluruh pulau Kalimantan
(termasuk Dayak di wilayah Malaysia).
Banyak sebab yang membuat mereka seakan melupakan asazi manusia, baik
sebab langsung maupun tidak langsung.Masyarakat Dayak di Sampit seperti
selalu “terdesak” dan selalu mengalah dan memang mereka lebih suka
memilih mengalah.
Dari kasus pelarangan menambang intan di atas “tanah adat” mereka
sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung
mereka harus berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para
penebang kayu yang terus mendesak mereka makin ke dalam hutan.
Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang
seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat
Dayak menjadi korban kasus tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan
orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme
Dayak-Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena tersangka
(kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap oleh aparat yang penegak
hukum.
Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari
anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata
sangat pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan
masyarakatnya baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah
mengganggu para penebang kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah.
Mereka tidak pernah menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk
agama yang dibawa oleh orang-orang pendatang.
Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat sekitarnya. Mereka tidak
pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah ke dalam kota Sampit untuk
“petantang-petenteng”.Etnis madura yang juga punya latar belakang
budaya “kekerasan” ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak
mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai”pendatang”).
Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh
penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah
yang menjadi salah satu pemicu “perang antar etnis Dayak-Madura”.
Dayak dikenal berilmu tinggi hingga bisa membedakan suku Madura dengan
suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari “serangan
beringas” orang Dayak. Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh
selama “perang” tersebut dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan).
Banyak bukan saja masyarakat dayak Sampit yang berada di sana, tetapi
juga ada 5 suku besar Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau
Kalimantan . Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan
masyarakat mayoritas di sana, saat terjadi “perang” jumlah mereka
berlipat ganda.
Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak dan Madura)
hanya dikarenakan rasa ngeri melihat “perang” dan lumpuhnya
perekonomian Sampit.(Dayak) tidak menyerang orang (madura) yang sempat
bersembunyi di dalam Masjid atau Gereja.meski pada intinya suku Madura
seperti sangat merasa berkuasa di sana..dan sempat ingin mengganti nama
menjadi Sampang 2 (salah satu kota besar di Madura)
Seorang pemuda bersenjata mandau duduk tepekur di trotoar jalan, di
Depan Hotel Putra Sampit, Kotawaringain Timur, Kalimantan Tengah
(Kalteng). Mandau di tangannya masih meneteskan darah. Matanya tampak
berkaca-kaca, dan sesekali ia sesenggukan. Ahmad, pemuda beretnis
Banjar yang kebetulan rumahnya dekat dengan trotoar jalan itu,
memberanikan diri menghampiri.Ahmad bertanya dalam bahasa Melayu,
ternyata pemuda yang sedang menangis itu tidak mengerti. Ia tak lain
adalah warga Dayak pedalaman. Lalu, terjadilah dialog dalam bahasa
daerah. “Kenapa Anda menangis,” tanya Ahmad. “Bagaimana tidak, saya
telah melakukan pembunuhan,” jawab pemuda Dayak itu. Pemuda Dayak itu
lantas nyerocos, kalau mengingat pembunuhan yang dilakukannya, ia merasa
kasihan pada warga Madura.
Tapi jika mengingat kelakuan etnis asal pulau garam itu, akunya, rasa
kasihannya menjadi hilang.Pemuda itu hanyalah salah satu dari ratusan
pemuda Dayak yang melakukan penyerangan ke Sampit. Menurut budayawan
Dayak Kalteng,Gimong Awan, memang banyak di antara warga Dayak yang
mengikuti’peperangan’ itu adalah pemuda berusia di bawah 30 tahun.
Penyesalan setelah membunuh itu muncul, duga Gimong, karena telah
habisnya pengaruh ‘isian’ yang dilakukan oleh orang sakti Suku Dayak
Seperti disaksikan oleh banyak warga Sampit, sebelum
melakukanpenyerangan, beberapa subsuku Dayak memang malakukan ritual.
WargaDayak yang ikut ritual itu setelah diisi, kulitnya dicoba disayat
satu per satu. Apabila ada yang luka, berarti ia tidak berbakat untuk
mendapatkan ‘kekebalan’. Bagi yang digores tidak berdarah, maka ia lulus
sebagai inti dari pasukan perang Dayak.”Isian itu dilakukan seperti di
Pencak Silat semacam Satria Nusantara,” ujarnya. Selepas ‘isian’ habis,
tambahnya, mungkin mereka baru menyadari bahwa pembunuhan yang
dilakukannya itu dilarang oleh agama yang mereka anut.
Tapi, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam
menghadapi warga Madura? Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang ditemui
Republika menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai
penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya
menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan
peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia
mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.
Banyak warga Madura yang baru datang ke Kalteng meminjam tanah kepada
warga Dayak. Di atas tanah itu kemudian dibangun rumah, atau kadang
ditanami sayur mayur. Status tanah itu sebenarnya tetap pinjaman,warga
Dayak tak menarik sewa.
Setelah beberapa tahun, tanah itu pun diminta karena suatu keperluan.
Tapi, bukan tanah yang dikembalikan,namun celurit yang justru
dikeluarkan. “Ketika ditunjukkan surat kepemilikan tanah, orang Madura
bilang, kamu punya suratnya, saya punya tanahnya,” ujar Charles, yang
mengaku kemenakan pahlawan Kalteng, Tjilik Riwut.Kasus seperti itu
dinilai warga Dayak terlalu sering terjadi.
Bukan hanya itu, tak jarang terjadi pembunuhan yang dilakukan warga
Madura,namun aparat hanya menangkap sebentar kemudian melepasnya.
‘Kenakalan’semacam itu tidak hanya terjadi di perkotaan. Sebagai
pendatang, warga Madura juga berani masuk ke daerah pedalaman, seperti
wilayah pertambangan. “Ada untungnya orang Madura mengungsi.
Saya jadi aman dari perampokan,” tutur Surti, pendatang dari Jawa yang
tinggal didaerah pertambangan bersama suaminya.Di bidang ekonomi, warga
Madura pun menguasai hampir semua sektor.Warga lokal hampir selalu kalah
bersaing dalam memperebutkan lahan usaha. Di pelabuhan misalnya, sulit
bagi etnis lain untuk menjadi buruh kasar sekalipun, tanpa restu orang
Madura.
Konon, yang masuk kelahan mereka tanpa restu, bisa dibunuh.Dominasi di
bidang ekonomi itu tampak jelas, karena setelah orang Madura dipaksa
mengungsi, warga Sampit dan Palangkaraya kesulitan mencari sembilan
kebutuhan pokok (sembako). Pasalnya, tak ada lagi pedagang eceran,
karena semuanya mengungsi.
Akumulasi permasalahan itu menjadikan warga Dayak sakit hati.Kejadian,
18 Februari 2001 hanyalah pemicu terjadinya perang besar-besaran. Pada
hari itu terjadi pembunuhan terhadap empat orang keluarga Matayo di
Sampit. Itu membuat marah warga Madura. Mereka mencari pembunuhnya yang
diduga bersembunyi di rumah Timil, seorang warga Dayak.
Mereka mengepung rumah keluarga Timil itu. Dalam situasi panas itu,
apalagi warga Dayak dari rumah Timil keluar juga memegang mandau, aparat
kepolisian datang. Mereka kemudian menangkap 38 tersangka dari suku
Dayak yang diduga melakukan pembunuhan terhadap keluarga Matayo.Puas?
Ternyata belum.
Baca juga: hal-hal yang menyebabkan Batalnya Wudhu dan Larangan Bagi Orang Yang Tidak Berwudhu
Baca juga: hal-hal yang menyebabkan Batalnya Wudhu dan Larangan Bagi Orang Yang Tidak Berwudhu
Warga Madura tetap melampiaskan kemarahannya.Mereka mendatangi rumah
Sengan, warga Dayak yang masih ada hubungan darah dengan Timil. Mereka
bahkan membakar rumah itu. Naas bagi Timil.Dia bersama anak dan cucunya
tewas terpanggang. Kemarahan warga Madura belum berhenti.
Hari itu, mereka setidaknya melakukan pembakaran terhadap 14 rumah dan
10 kendaraan bermotor. Sampai esok harinya>(19/02), warga Madura
menguasai kota Sampit. Mereka memburu warga Dayak. Mereka keliling kota
dengan membawa clurit, baik dengan jalan kaki maupun memakai kendaraan
bermotor. Ada beberapa spanduk yang dipasang, di antaranya “Sampit, kota
Sampang II”.Tiga orang Dayak tewas dalam insiden ini.
Pengungsian warga Dayak,Jawa, Banjar, dan Tionghoa mulai terjadi. Rumah
jabatan bupati Kotawaringin Timur mulai dipadati pengungsi. Ribuan orang
mengungsi ke Jawa dengan KM Binaiya. Entah siapa yang mengontak, mulai
20 Februari 2001, warga Dayak dari luar kota Sampit, termasuk dari
pedalaman,menyerbu Sampit.
Pertempuran sengit pun terjadi. Warga Madura keteter.Warga Dayak
membakar dan merusak rumah warga Madura. Penghuninya pun diburu.
Pemenggalan kepala mulai banyak terjadi. Warga Dayak ganti menguasai
kota.Esoknya (21/2), perburuan Dayak masih terjadi. Malah wilayah
pencarian kian meluas, keluar dari kota Sampit.
Sementara perlawanan warga keturunan Madura kian melemah. Mereka lebih
memilih mengungsi, atau lari ke hutan. Kantor Pemda setempat menjadi
pilihan pengungsian yang dipandang paling aman. Hari-hari berikutnya,
langkah ‘pembersihan’masih terjadi. Baru pada Rabu (28/2) situasi
berangsur tenang, meski tetap saja ada aksi pembakaran di sana sini.
Pun, jejak kerusuhan berupa mayat –sebagian besar tanpa kepala– masih
berserakan disungai-sungai. Bau anyir mayat menyengat hidung.
Warga Sampit meyakini korban tewas tanpa kepala mencapai lebih dari
1.000 orang. Dalam budaya Dayak memang dikenal istilah ngayau,eksekusi
dengan memenggal kepala lawan. “Budaya itu sebenarnya telah dihentikan
dengan adanya perjanjian Tumbang Anoy (letaknya kira-kira 300 KM timur
Palangkaraya) pada 1884,” ungkap Gimong.
Dalam sejarah Dayak pun, kata dia, jarang sekali ada ngayau yang
mencapai angka ratusan atau bahkan ribuan. Tapi, ujar Gimong, pernah ada
satu ngayau besar-besaran sebelum peradaban Islam menyentuh Kalimantan.
“Kejadian itu disebut Asang Paking Pakang,” tuturnya.Dalam kejadian
itu, warga Dayak di hulu sungai-sungai besar menyerang secara
besar-besaran warga Dayak di hilir sungai. “Beribu-ribu pasukan Dayak
hulu, seperti tikus, melakukan penyerangan,” kisah Gimong.”Dayak hulu
merasa kelakuan Dayak hilir sudah keterlaluan.
Mereka sakit hati karena banyak anggota kelompok mereka yang
dikayau.”Dalam penyerangan itu, tak peduli anak-anak atau perempuan, di-
kayau.Asang memang berarti pembunuhan berskala besar. Ketemu
perahu,dihancurkan. Dapat ternak juga di sikat. Bahkan, dapat kuburan
pun mereka bongkar dan hancurkan. Melihat pola dan jumlah korban dalam
tragedi terakhir di Sampit, Gimong menilai mirip dengan Asang Paking
Pakang. “Tragedi Sampit adalah Asang Paking Pakang jilid dua,”katanya.
Tapi, dalam pandangannya, kejadian itu adalah kemunduran 100 tahun bagi
suku Dayak.
Dasar Penyebab Perang
Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang perempuan Dayak digodai dan
dip3rk0s4, terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan
perdamaian menurut hukum adat.
Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku
Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan / penyelesaian secara
hukum tidak ada.
Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan
etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh 30
(tigapuluh) orang madura). Terhadap pembunuhan atas warga Kasongan
bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak
dan Madura diadakan perdamaian: dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan
kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda
tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila
orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar
dari Kalteng.
Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang perempuan Dayak dip3rk0s4 di
gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang
Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok
oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor
orang Madura mati semua, tindakan hukum terhadap orang
Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan
diri menggunakan ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan
semuanya.
Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang
anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura
yang ?tukang jualan sate?. Si belia Dayak mati secara mengenaskan,
ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan. Anak muda
itu tidak tahu menahu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar